Masyarakat Desa Adat Kedisan Gelar Upacara Ngusaba Tatag. Sumber Foto : Istimewa

BALIPORTALNEWS.COM, BANGLI – Bangli adalah salah satu Kabupaten yang terletak di tengah-tengah Pulau Bali, dan merupakan satu-satunya kabupaten yang tidak memiliki garis pantai, namun demikian kabupaten sejuk ini memiliki berbagai kekayaan alam serta budaya yang adi luhung, disebut juga sebagai Sarining Padma Bhuana Bali karena Bangli merupakan sumber air dari beberapa kabupaten/kota di Bali.

Selain itu, Bangli juga memiliki keanekaragaman budaya dan tradisi kuno yang diwarisi oleh para leluhur mereka yang masih dilestarikan sampai saat ini. Salah satu tradisi dalam wujud syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang masih dilaksanakan secara turun temurun oleh warga masyarakat Desa Kedisan Kecamatan Kintamani adalah Ngusaba Tatag atau Ngusaba Tegen.

Dikatakan Ngusaba Tatag karena wilayah dilaksanakannya kegiatan upacara ini dikenal dengan nama Tatag, dikaitkan juga dengan sumber Mata Air yang ada di wilayah tersebut  bernama Tangga-Tangga, yang mana dalam pelaksanaan upacara agama hendak Nunas (mengambil)  Tirta (air suci) masyarakat setempat harus menaiki tangga atau di Bali sering disebut tatag.

Ditemui di sela-sela pelaksanaan Upacara Ngusaba Tegen pada Rabu (31/8/2022) salah satu tetua Adat Desa Kedisan, Jro Mangku Sudarma mengatakan disebut upacara Ngusaba Tegen, karena kaum laki-laki umumnya membawa banten (sesajen) dari rumahnya menuju tempat upacara dengan cara ditegen (dipikul).

Baca Juga :  Bupati Sanjaya Apresiasi Karya Dewa Yadnya Krama Desa Adat Cepik

“Yang mana secara umum di Bali, yang membawa banten adalah kaum wanita, tetapi saat Ngusaba Tatag kaum laki-laki justru lebih mendominasi,” jelasnya.

Jro Mangku Sudarma menambahkan bahwa Ngusaba Tatag ini dilasanakan setahun sekali setiap tanggal ping 2 atau 3, Sasih Katiga (2-3 hari setelah Tilem Sasih Karo), sekitar bulan Agustus. Upacara ini dilaksanakan dengan sistem Nyungkit, yaitu tiga kali upakaranya menggunkan ulam (daging) itik/bebek, dan di tahun keempat menggunakan ulam banteng/sapi.

“Upacara dilaksanakan di depan pelinggih Padma Sari (Prajapati) dengan penempatan banten yang dipersembahkan dibagi dua tempat (Dajanan-Delodan) sebagai simbol keseimbangan,” ucapnya.

Berbeda dengan upacara pada umumnya, Ngusaba Tatag atau Ngusaba Tegen di Desa Kedisan, sarana sesajen yang digunakan berupa banten tegenan dan pantang menggunakan jajan atau ikan yang digoreng. Sebaliknya, jajan atau ikan yang dipergunakan mesti dikuskus, direbus, dibakar atau ditimbung atau dipanggang.

Desa Adat Kedisan
Masyarakat Desa Adat Kedisan Gelar Upacara Ngusaba Tatag. Sumber Foto : Istimewa

Lebih lanjut Jro Mangku Sudarma mengatakan, hal ini sesuai dengan petikan lontar Purana Kedisan yakni, Yan sira arep anebus ikang Atma, dewa hyang pitara mwang sang palatra ri Bhatara, Yan sira ngupakara ri de Bhatari Dhurga mwang ri de Siva Guru maring Prajapati mwang Dalem Agung wenang ta sira angaturaken bhakti sarwa galahan kumulub, pinanggang, tan wenang ginoreng.

“Yang artinya Jika engkau hendak menghaturkan banten penebusan kepada Bhatara untuk Atma, dewa hyang pitara, dan orang yang baru meninggal/belum diaben, jika engkau hendak menghaturkan banten untuk Bhatari dhurga dan kepada Dewa Siva baik di Dalem prajapati dan dalem Agung, patutlah mempersembahkan bakti/banten serba bungkulan/utuh/tidak ditebih, yang direbus/kukus, di bakar/timbung, dan tidak dibenarkan di goring,” jelasnya.

Baca Juga :  Sekda Kota Denpasar Hadiri Pujawali di Pura Swagina Taman Sari

Dan ini sesuai dengan petunjuk Lontar Yadnya Prakerti dan Mpu Lutuk yang menjadi induk Upakara Banten di Bali. Aturan untuk Pura Dalem Prajapati memang diusahakan tidak digoreng, tetapi di bakar, dipanggang di rebus, atau dikukus.

Pihaknya berharap dengan dilaksanakannya upacara ini, Ida Sang Hyang Widhi selalu melimpahkan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada seluruh warga masyarakat khususnya di Desa Kedisan.(bpn)

Dapatkan berita terbaru dari Baliportalnews.com di Google News