Nagaraja
Pameran ‘Nagaraja Wijaya’ Hadirkan Karya Seniman Lintas Generasi di JHub ArtSpace. Sumber Foto : Istimewa

BALIPORTALNEWS.COM, JIMBARAN – Sebanyak 16 perupa dari Bali menggelar pameran bertajuk ‘Nagaraja Wijaya’ di Jimjbaran Hub (Jhub) Art Space Jimbaran, Badung, Bali.

‘Nagaraja Wijaya’ dimaknai sebagai kemenangan para naga, untuk merayakan pergantian Tahun Baru Imlek 2575 yang disimbolkan shio Naga Kayu. Dalam konteks ini Nagaraja Wijaya merefleksikan tentang kemenangan kehidupan.

Ke-16 perupa yang berpameran pada 23 Februari-23 Maret 2024 adalah seniman lintas generasi yakni Djaja Tjandra Kirana, Handy Saputra, I Made Duatmika, Ipphing, Made Djirna, Made Kaek, Made Wiradana, dan Moelyoto.

Selain itu, ada pula Ni Wayan Penawati, Ni Wayan Sutariyani, Nyoman Erawan, Nyoman Sujana Kenyem, Polenk Rediasa, Putu Wirantawan, Wayan Kun Adnyana, dan Wayan Redika.

Putu Agung Prianta selaku Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Bali yang juga founder JHUB Art Space mengatakan, pameran ini dapat menjadi ruang untuk mengingatkan ikatan sejarah Indonesia dan Tiongkok, yang telah terjalin selama berabad-abad sejak pelayaran Laksamana Cheng Ho.

“Akulturasi budaya Tionghoa di Bali juga tercermin dalam kisah cinta sejarah Bali-Tiongkok antara Kang Cing Wie dan Raja Jayapangus, yang telah memberi warna pada kehidupan budaya di Pulau Dewata. Ikatan ini semakin kuat dalam beberapa tahun terakhir, berkembang menjadi kemitraan yang beragam manfaatnya bagi kedua bangsa,” tuturnya saat membuka pameran ini, Jumat (23/2/2024) malam.

Baca Juga :  Jenderal TNI Maruli Simanjuntak Apresiasi Kinerja Yonif 741/GN

Kurator pameran Wayan Sujana Suklu mengebut pembingkaian sebuah pameran menjadi strategi penting bagi seniman, penikmat seni, ranah ilmu sosial, psikologi, antropologi, bahkan ilmu fisika/kimia dan lain-lain.

Galibnya artefak seni adalah produk yang dapat dibedah oleh masyarakat seni, begitu juga masyarakat akademisi dari luar seni. Sangat penting dimulai melihat karya seni dari berbagai spektrum. Selama ini dunia seni rupa cenderung hanya dinikmati dan dimaknai oleh kalangan seni.

Suklu mengajak menelisik harapan perupa ketika didaulat memaknai Imlek, sebagai ‘kemenangan para naga’. Kognisi dan pilihan artsitik perupa pastilah mengalami buncah pada ruang renung masing-masing.

Pandangan dunia pada dirinya begitu juga perspektif dirinya pada dunia tereduksi dalam kontemplasi kesadaran para perupa. Kognisi melahirkan konsep, pilihan artistik memunculkan media/alat ekspresi perupa, alih-alih uniqueness seorang perupa direduksi dari dua hal ini.

Baca Juga :  Sosialisasi Keterbukaan Informasi Publik dan Peran Media di Badung

Rupanya, frasa nagaraja wijaya menyeret visual naga kasat mata dan memori menumpah-ruah tentang imaji naga. Kita segera menikmati dua model penggambaran yakni; visual naga sebagai simbol presentasional versus ekspresi jiwa naga. Sebagian perupa meminjam citra naga sebagai bahasa visual, beberapa perupa lainnya menarik pelatuk makna suara naga.

“Dalam hal ini kita berutang pada penjelasan Fritjof Capra mengenai hidden connections tentang kognisi. Kesadaran otak dimensi sosial kesadaran, bahasa muncul ketika suatu tingkat abstraksi terdapat komunikasi tentang komunikasi,” jelas Suklu.

Beberapa perupa dengan fasih meminjam artefak visual naga dari berbagai budaya simbolik di dunia. Ada kalanya figur naga dijadikan subjek, semata dekorasi matra, satu dua perupa mengkreasi wujud naga secara ekspresif sekaligus simbolik.

Karya-karya perupa Djaja Tjandra Kirana, Made Djirna, Nyoman Erawan, Wayan Redika, Made Duatmika, Nyoman Sujana Kenyem, Ni Wayan Sutariyani, Made Wiradana, Moelyoto, Polenk Rediasa, dan Ipphing menunjukkan hal tersebut. Mereka dengan keunikan artistik masing-masing menarasikan gagasan melalui ruang yang penuh, metafisik, dinamik, retikulasi, interior, dan mikroskopis.

Baca Juga :  Wali Kota Jaya Negara Hadiri Lomba Penjor dan Ngelawar STT Se-Desa Dangin Puri Kangin

Perupa Made Kaek dan Handy Saputra mengambil posisi samar, menggambarkan naga bersimulakrum di antara makhluk-makhluk purba. Entitas naga dimuati kesadaran perupa melalui struktur ruang unik, sehingga menimbulkan asosiasi simbolik-metaforik.

Dengus dan jiwa naga, saya sering menyebut roh naga, ditangkap dan divisualkan oleh sebagian perupa. Upaya menghindar dari wujud naga yang common sense. Perupa menggali keyword visual di luar ikonik naga. Wayan Kun Adnyana melukiskan manusia bersayap (White Angel) mengandaikan manusia bisa terbang, bebas keluar dari kotak pandora yang mengikat, menggapai kemenagan ruh dan batin.

Begitu juga perupa Ni Wayan Penawati mencitrakan geometrik bulatan merah (Peace Belong) ditata sesuai dengan psikis simbolik mewakili warna-warna Imlek, sedangkan Putu Wirantawan menyajikan jalinan ruang sureal melalui bentuk geometrik. Tiga perupa ini merepresentasikan suara naga dengan cara yang unik.

Pameran ini merupakan kesinambungan pameran Sabda Warsa saat perayaan Imlek 2023 hasil kerja sama INTI Bali, Komunitas Kertas Padi bersama JHUB Art Space yang sedianya bakal dijadikan kegiatan tahunan.(*/bpn)

Dapatkan berita terbaru dari Baliportalnews.com di Google News