Bayi Baru Lahir
Prof. dr. Gunadi, Ph.D., Sp.BA., Subsp.D.A.(K)., saat menyampaikan pidato pengukuhannya dalam jabatan Guru Besar Bidang Bedah Anak Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, Kamis (14/9/2023) di Balai Senat UGM. Sumber Foto : Istimewa

BALIPORTALNEWS.COM, YOGYAKARTA – Hirschsprung (HSCR) merupakan penyakit kongenital (bawaan) yang menjadi salah satu penyumbang signifikan angka kematian bayi baru lahir dan anak berusia di bawah lima tahun. HSCR ini menyebabkan gangguan buang air besar pada bayi.

Salah satu gejala yang biasa ditemukan pada bayi dengan HSCR antara lain tidak bisa buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir. Sementara pada balita gejala yang muncul antara lain sembelit menahun, perut menggembung, serta terdapat gangguan pada pertumbuhan.

“Hirschsprung ini paling sering ditemukan pada bayi baru lahir dengan insidensi global diperkirakan 1:5.000 kelahiran hidup dan lebih sering ditemukan pad alaki-laki. Namun, menariknya insidensi Hirschsprung di Indonesia lebih tinggi di banding populasi lain yaitu 1:3.250 kelahiran hidup,” papar Prof. dr. Gunadi, Ph.D., Sp.BA., Subsp.D.A.(K)., saat menyampaikan pidato pengukuhannya dalam jabatan Guru Besar Bidang Bedah Anak Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, Kamis (14/9/2023) di Balai Senat UGM.

Gunadi memperkirakan kondisi tersebut terjadi berhubungan dengan frekuensi common variants RET rs2435357 dan rs2506030 pada populasi kontrol di Indonesia yang lebih tinggi dibandingkan populasi lain.

Baca Juga :  Dukung Persiapan Masuki Dunia Kerja, Astra Motor Bali Hadiri Gelaran Job Fair SMK PGRI 2 Badung

Dari penelitian yang dilakukannya diketahui sebagian besar penderita HSCR di Indonesia masuk dalam klasifikasi short segment dimana segmen aganglion tidak melebihi kolon sigmoid (80%). Lalu dari data di Yogyakarta menunjukkan frekuensi HSCR yang disertai dengan sindrom down sebesar 12 persen dan hanya dijumpai satu kasus familial dari 67 kasus.

Lebih lanjut Gunadi menjelaskan bahwa HSCR merupakan penyakit genetik. Sejumlah bukti menunjukkan hal tersebut, salah satunya angka kesintasan pasien HSCR menjadi lebih tinggi setelah ditemukan teknik pull through tahun 1984 sehingga tercipta kondisi untuk menemukan adanya transmisi HSCR familial. Tak hanya itu, bukti lain mencatat adanya peningkatan risiko pada saudara pasien untuk menderita HSCR dibandingkan populasi umum. Lalu, adanya rasio HSCR yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan serta adanya hubungan  HSCR dengan penyakit genetik lain seperti sindrom malformasi atau anomali kromosom.

Baca Juga :  Periode Lebaran, Penjualan Honda di bulan Maret 2024 Meningkat 19 Persen

Konsep kompleksitas genetik pada HSCR disebutkan pria kelahiran Banyuwangi, 19 November 1979 ini bisa dipahami dengan mempelajari kejadian molekuler dan seluler selama perkembangan enteric nervous system (ENS) saat embriogenesis. Setidaknya hingga saat ini ada 35 gen yang berhubungan dengan patogensis HSCR.

“HSCR merupakan penyakit genetik kompleks yang bisa menimbulkan komplikasi Hirschsprung associated enterocolitis (HAEC) yang bersifat fatal. Dengan data stratifikasi risiko berbasis genomik, kedokteran presisi sebagai manajemen HSCR bisa terwujud. Dengan begitu, kesadaran orang tua pasien terhadap risiko HSCR menjadi lebih baik, HSCR pun bisa didiganosis dan terapi lebih awal, serta terhindar dari komplikasi fatal,” urainya.(ugm.ac.id//bpn)

Dapatkan berita terbaru dari Baliportalnews.com di Google News