DPU
Bersama Tim KuPP, Komnas Perempuan Gelar DPU Wilayah Tengah. Sumber Foto : tis/bpn

BALIPORTALNEWS.COM, KUTA – Komnas Perempuan yang tergabung dalam Tim KuPP (Kerja sama untuk Pencegahan Penyiksaan) yang terdiri dari enam lembaga HAM di Indonesia, yaitu Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan Komisi Nasional Disabilitas (KND) menggelar Dengar Keterangan Umum (DKU) wilayah Tengah (Denpasar) yang berlangsung dari 2-5 Oktober 2023 di Harris Hotel & Residence Riverview Kuta dalam rangka mengevaluasi pelaksanaan 25 tahun ratifikasi Convention against Torture (CAT).

Selain di Denpasar, Bali, Komnas Perempuan bersama KuPP juga menyelenggarakan Inkuiri Nasional melalui rangkaian Dengar Keterangan Umum (DKU) di 4 (empat) wilayah yaitu Barat (Medan), Timur (Manado), Tengah (Denpasar) dan Nasional (Jakarta). Selain DKU, juga dilakukan kegiatan background study, studi kasus dan pemantauan.

Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah mengatakan, pada Dengar Keterangan Umum (DKU) wilayah Tengah ini akan mengulas kasus penyiksaan yang terjadi di Indonesia bagian Tengah dengan jumlah 8 kasus yang terjadi di NTT dan Kalimantan.

“DKU wilayah Tengah di Denpasar yang diadakan pada 2 – 5 Oktober ini akan mempersaksikan dan menelaah delapan kasus penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi serta semena-mena termasuk berbasis gender, anak, dan disabilitas di antaranya kasus pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan, kematian pekerja migran dengan indikasi adanya organ tubuh hilang, perhambaan, pengabaian terhadap penyandang disabilitas psikososial, penyiksaan dan hukuman mati pelaku pencabulan, penjebakan transpuan narkoba, penundaan berlarut (delayed in justice),” tutur Anis.

Baca Juga :  Badung Kembali Gelar GEMARIKAN untuk Cegah Stunting

Sementara itu, Komisioner KPAI, Sylvana Apituley menjelaskan, DKU dijalankan dengan prinsip-prinsip etis yakni transparansi, terbuka, melibatkan publik sebagai pengamat, memastikan persetujuan, kerahasiaan dan keamanan korban, menghindari perkataan yang  memantik secondary trauma (termasuk tidak memojokkan korban), serta no naming no shaming.

“Demi kepentingan keselamatan pelapor dan saksi, proses DKU dilakukan terbuka namun terbatas pada publik undangan sesuai dengan protokol keselamatan yang diperlukan. DKU juga diharapkan berperan sebagai media kampanye dan pendidikan publik dalam membicarakan persoalan penyiksaan dengan dimensi kekerasan berbasis gender dan irisannya dengan anak dan disabilitas, terutama kekerasan seksual,” tambah Sylvana.

Baca Juga :  Pemkab Badung Gelar Pembinaan dan Advokasi Pengadaan Barang/Jasa untuk Tingkatkan Kapasitas SDM

Inkuiri Nasional yang terlibat dalam DKU adalah Andy Yentriyani dan Rainy Hutabarat (Komnas Perempuan), Sylvana Apituley (KPAI), Anis Hidayah (Komnas HAM), Jemsly Hutabarat dan J. Widiantoro (ORI), serta Jonna Aman Damanik (KND).

DPU
Bersama Tim KuPP, Komnas Perempuan Gelar DPU Wilayah Tengah. Sumber Foto : tis/bpn

Inkuiri Nasional mengumpulkan bukti-bukti yang diperoleh dari masyarakat, dengan melibatkan para saksi/pemberi keterangan dan ahli untuk menemukan pola sistemik pelanggaran HAM dan irisannya dengan kekerasan berbasis gender, disabilitas dan anak khususnya kasus-kasus kekerasan seksual sehingga bukan sekadar berurusan dengan pengaduan-pengaduan individual.

“Dengan demikian Inkuiri Nasional diharapkan dapat mengatasi permasalahan laten berkaitan dengan tindak penyiksaan dan perlakuan tak manusiawi lainnya yang pada dasarnya merupakan pelanggaran HAM dan Konstitusi,” tutup Anis.

Baca Juga :  Berisi Data Penting, Tiga Laptop Milik Sekretariat Bawaslu Kecamatan Kubu Hilang

Partisipasi publik menjadi kunci kegiatan DKU yang digunakan sebagai ruang untuk mendengar keterangan-keterangan yang diperlukan dari semua pihak yang perlu didengar: pihak pelapor, para pemberi keterangan, dan pihak lain yang terkait-paut atau relevan. Dialog konstruktif  dengan para pihak merupakan metode yang digunakan dalam DKU.

Bebas dari penyiksaan merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun. Demikian amanat Konstitusi, sebagaimana juga komitmen global yang tertuang di antaranya dalam Konvensi Menentang Penyiksaan, Penghukuman atau Perlakuan lain yang Kejam, Merendahkan Martabat dan tidak Manusiawi (Convention against Torture/CAT). Konvensi ini telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dan  menjadikan bagian dari hukum nasional sejak 25 tahun yang lalu melalui UU No. 5 Tahun 1998.(tis/bpn)

Dapatkan berita terbaru dari Baliportalnews.com di Google News