KPA
Koordinator KPA Wilayah Bali, Ni Made Indrawati (kiri), dalam jumpa pers yang diadakan bersama Asti Noor dari Working Group ICCAS Indonesia yang mewakili Koalisi Tenurial. Sumber Foto : ads/bpn

BALIPORTALNEWS.COM, DENPASAR – Masalah pertanahan yang telah berlangsung selama puluhan tahun masih menjadi sorotan utama di Bali. Konflik pertanahan menyebar di empat kabupaten, yaitu Buleleng, Klungkung, Gianyar, dan Tabanan, dan terus menjadi perhatian utama masyarakat.

Salah satu contoh kasus yang menjadi sorotan adalah masalah tanah di Desa Sumberklampok, Buleleng, di mana kasus eks pengungsi Timor Timur yang menempati kawasan hutan menjadi polemik yang belum terselesaikan. Masalah serupa juga terjadi di Pemuteran dan daerah lainnya.

Koordinator KPA Wilayah Bali, Ni Made Indrawati, dalam jumpa pers yang diadakan bersama Asti Noor dari Working Group ICCAS Indonesia yang mewakili Koalisi Tenurial, mengungkapkan bahwa sejauh ini hanya sedikit kasus yang berhasil diselesaikan, dan bahkan itu pun belum sepenuhnya tuntas.

Indrawati juga menyoroti masalah pemberian tanah kepada masyarakat oleh pemerintah daerah. 

Baca Juga :  Wakil Ketua WHDI Denpasar Buka Pelatihan Membuat Banten Otonan di Banjar Mertagangga Ubung Kaja

“Meskipun beberapa tanah telah diberikan kepada warga, proses penerbitan sertifikat seringkali memerlukan biaya yang besar, hingga ratusan juta rupiah, sehingga banyak warga yang tidak mampu memenuhi persyaratan ini,” ungkapnya.

Selain itu, kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia, seperti yang tertuang dalam MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) 2011-2025, juga menjadi sorotan. Meskipun berbagai koridor pembangunan ekonomi telah ditetapkan, seperti Koridor Bali-Nusa Tenggara yang fokus pada pariwisata dan pendukung pangan, namun ketimpangan penguasaan tanah terus meningkat selama dua dekade terakhir.

Studi yang dilakukan oleh Bachriadi dan Wiradi pada tahun 2011 serta oleh Sajogyo Institute pada tahun 2019 menunjukkan bahwa rasio gini penguasaan tanah tetap tinggi. Pada tahun 2003, rasio gini penguasaan tanah mencapai 0,72. Bahkan pada tahun 2013, studi Sajogyo Institute menunjukkan bahwa rasio gini masih tinggi, yaitu 0,64. Ini mengindikasikan tingginya ketimpangan distribusi tanah, terutama dalam pertanian rakyat.

Selain itu, penataan kawasan hutan yang dilakukan secara sentralistik dan eksklusif atas nama konservasi juga memperbesar ketimpangan agraria dan seringkali melanggar hak asasi manusia. Sejak tahun 2015 hingga 2022, tercatat telah terjadi sebanyak 2.710 konflik agraria yang melibatkan seluas 5,88 juta hektar lahan di seluruh Indonesia. Hal ini membuat pentingnya pelaksanaan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) yang patuh.

Untuk mengatasi masalah-masalah ini, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengadakan Konferensi Tenurial 2023. Konferensi ini merupakan kelanjutan dari dua konferensi sebelumnya yang diadakan pada tahun 2011 di Lombok dan 2017 di Jakarta. 

Tujuannya adalah untuk merefleksikan kondisi, masalah, dan capaian perjuangan reforma agraria serta pengelolaan sumber daya alam, sekaligus menyusun rekomendasi perbaikan kebijakan untuk pemerintahan berikutnya.

Baca Juga :  Sambut Hardiknas Tahun 2024, Ayu Kristi Arya Wibawa Buka Workshop Peningkatan Kompetansi Guru PAUD

Masyarakat sipil berharap bahwa melalui Konferensi Tenurial 2023, masalah-masalah tenurial dapat diidentifikasi dan strategi perubahan yang diperlukan dapat disusun. Beberapa rekomendasi perbaikan kebijakan yang diharapkan melalui konferensi ini mencakup meluruskan paradigma, kebijakan, dan praktik reforma agraria dan pengelolaan sumber daya alam, mempercepat pengakuan hak rakyat dan masyarakat adat, serta memastikan perlindungan hak asasi manusia bagi para pejuang lingkungan, agraria, dan masyarakat adat.

Pergantian pemerintahan nasional yang akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan diharapkan dapat menjadi momentum politik untuk mendorong agenda strategis dalam masalah tenurial yang lintas sektor. Dengan melibatkan suara dari berbagai elemen masyarakat, aktivis, dan akademisi, diharapkan bahwa kebijakan pembangunan nasional akan lebih memperhatikan keadilan tenurial yang merata bagi semua lapisan masyarakat. (ads/bpn)

Dapatkan berita terbaru dari Baliportalnews.com di Google News