Ilustrasi
Ilustrasi, Sumber Foto : Istimewa

BALIPORTALNEWS.COM, DENPASAR – Munculnya kabar terkait adanya dugaan kriminalisasi terhadap sejumlah petani di Desa Pakel, Banyuwangi oleh oknum Aparat Penegak Hukum (APH), menjadi dasar alasan sejumlah komunitas di Bali menggelar aksi untuk mengecam atas adanya dugaan kejadian tersebut.

Berdasarkan informasi yang berhasil tim redaksi Baliportalnews.com terima melalui Surat Elektronik (Surel, Email) pada Senin (20/2/2023), Sri Mariyati salah satu petani dari Desa Pakel, Banyuwangi, dalam keterangannya menjelaskan, dugaan kriminalisasi diawali kejadian penangkapan yang terjadi pada Jumat, 3 Februari 2023 lalu, dimana tiga petani yang bernama Mulyadi, Suwarno, dan Untung ditangkap tanpa disertai adanya surat penangkapan.

“Di tahun 2000 itu aku masih kelas 1 SD. Yang aku ingat betul itu rumahku digerebek, diserbu aparat. Aku ingat tengah malam, rumahku digedor-gedor, disuruh keluar, kalo engga, bisa dibakar. Padahal itu tanggal 17 Agustus, sebetulnya merayakan hari kemerdekaan, tapi disini rasanya engga ada kemerdekaan. Pejuang yang laki-laki ditangkap. Termasuk kakekku. Hal yang sama dialami anakku sekarang, kakeknya dibawa tanpa ada keterangan apapun,” ungkap Sri Mariyati, petani dari Desa Pakel.

Sementara itu, Tim Hukum warga Pakel, Taufiq Tauqurochim menuturkan, saat itu ketiga petani yang ditangkap tersebut hendak menghadiri rapat asosiasi oleh Kepala Desa Banyuwangi, mereka ditangkap dan atas tuduhan pelanggaran Pasal 14 dan 15 Undang-Undang nomor 1 Tahun 1946 terkait dengan berita bohong yang menyebabkan keonaran.

“Pasal ini sering dipakai membungkam masyarakat, aktivis, dan teman-teman jurnalis,” kata pria yang juga aktif di LBH Surabaya ini.

Melalui pasal tersebut, ketiga petani ini dianggap telah menyebarkan berita bohong yang menyebabkan keonaran. Menurut Taufiq, jika dilihat dari sejarahnya, tanah yang mereka hidupkan dan dihidupkan itu adalah tanah yang secara legalitas mereka miliki secara resmi, pada 11 Januari 1929, dimana warga menerima Akta 1929 yang mengizinkan mereka untuk membuka hutan seluas 4.000 bahu.

Baca Juga :  Wawali Arya Wibawa Tutup Gelaran Porsenijar Kota Denpasar Tahun 2024

Namun, kawasan dalam Akta 1929 dikuasai oleh Perhutani dan PT Bumi Sari pada masa Orde Baru. Selain itu, dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri nomor SK.35/HGU/DA/85 dijelaskan, bahwa PT Bumi Sari hanya mengantongi HGU seluas 1189,81 hektare terbagi dalam 2 Sertifikat, yakni Sertifikat HGU nomor 1 Kluncing dan Sertifikat HGU nomor 8 Songgon, yang jelas dapat disimpulkan bahwa PT Bumi Sari tidak memiliki HGU di Pakel.

“Akta 1929 bagi saya sah, legalitas. Karena dalam asas hukum tata negara, jadi selama keputusan itu dibuat oleh pejabat dan tidak pernah dihapus, maka hak itu masih dinyatakan sah,” tegas Taufiq.

Lebih lanjut diceritakan, penangkapan tiga petani Pakel adalah potret murni dari skema kriminalisasi dan pembungkaman, mulai dari tanpa surat tugas dan penangkapan, ataupun proses penangkapannya. Skema yang tampak jelas terlihat ini menyulut kemarahan sekaligus keresahan masyarakat, hingga memunculkan berbagai aksi solidaritas untuk mendukung keadilan, mendukung perjuangan warga Pakel.

Bahkan hingga saat ini (20 Februari 2023) lebih dari 20 ribu orang telah menandatangani petisi terkait “Cabut HGU PT Bumi Sari, Bebaskan 3 Petani Pakel Banyuwangi dan Wujudkan Keadilan Agraria”. Selain itu, berbagai komunitas di berbagai daerah mengadakan aksi solidaritas, seperti di Jogja, Jawa Timur, Jakarta, dan saat ini di Bali.

Baca Juga :  Dukung Persiapan Masuki Dunia Kerja, Astra Motor Bali Hadiri Gelaran Job Fair SMK PGRI 2 Badung

Di Bali sendiri, bertempat di Haluan Coffee Space pada Minggu (19/2/2023) berbagai komunitas berkumpul dan mengekspresikan dukungannya terhadap perjuangan petani Pakel. Acara juga diisi dengan penampilan ‘bebunyian’ dari Chaos Non Musica. Adapun para penampil yang mengekspresikan kepeduliannya dengan musik eksperimental, mulai dari Yami No Oto, Usada Putra, Dosed, dan Sanglah Slayer.

Alvina Damayanti, salah satu perwakilan Pemuda/i Desa Pakel menambahkan, saat ini kondisi ketiga petani inipun semakin tersudutkan, karena keluarga maupun tim kuasa hukum tidak diizinkan untuk membesuk mereka.

“Paginya, waktu besuknya, kita ga boleh ketemu, cuma boleh titip makanan. Setelah kita lobby, akhirnya Hari Senin bisa ketemu, syukurnya mereka sehat dan baik. Tapi ada kabar yang ga mengenakan, terakhir ini, katanya Pak Suwarno sempat dikasih makanan basi,” kata Alvina Damayanti.

Dirinya juga mengatakan, bahwa Sri Mariyati yang anggota keluarganya ikut ditangkap tersebut hanya sekali bisa membesuk, setelah itu keluarga dan tim hukum sudah tidak diizinkan lagi bertemu.

“Terakhir mau kesana lagi, engga bisa ketemu, ga boleh ketemu, cuma boleh titip makanan aja. Kalo mau ketemuan itu harus ada penyidik,” tambahnya.

Meskipun keluarga tidak bisa bertemu dan belum mengetahui kabar terbaru anggota keluarganya, Sri Mariyati mengaku sedihnya sudah terobati, dari adanya dukungan warga Pakel dan solidaritas di luar desa, yang menganggap bahwa ketiga petani ini adalah pejuang bagi desanya, yang ditangkap karena benar.

Baca Juga :  Dari Penjajakan Rencana Sister City Kota Denpasar dan Kota Zadar, Sejumlah Peluang Dipaparkan

“Saat kita sedih, warga itu menunjukan kepada kita bahwa tiga orang itu tidak melakukan kesalahan. Di lain sisi, kita ga malu ditahan, karena mereka engga melakukan kesalahan, karena mereka rela ditahan untuk memperjuangkan hak untuk banyak orang,” ungkap Mariyati.

Atas adanya kejadian ini, untuk dapat diketahui masyarakat, hak atas tanah bagi warga Pakel telah dipertegas dengan diterbitkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada 24 September 2020 lalu. Tepat diterbitkannya UU ini, warga Pakel melakukan aksi reclaiming di lahan leluhur mereka yang direnggut PT Bumi Sari.

“Seharusnya setelah UUPA diterbitkan, (Akta 1929, red) itu dikonversi. Kalo tidak, berarti mereka (pemerintah, red) tidak pernah membaca sejarah warga Pakel. Soal pembuktian dan sebagainya, kita bisa membuktikan dan pertanggung jawabkan,” tegas Taufiq.

Hingga sampai saat berita ini di publikasikan, pihak oknum APH yang diduga telah melakukan kesewenang-wenangan mengkriminalisasi tiga petani Pakel tersebut, belum bisa memberikan keterangan bahwa akta itu benar atau malah sebaliknya, dimana sempat pada tahun 2021, para petani Pakel diketahui, pernah melaporkan PT Bumi Sari, namun APH menolak laporannya atas rusaknya tanaman dan benda-benda lainnya.

“Saya melihat proses hukum ini memiliki standar ganda, karena dia (pihak APH, red) menerima ketika itu dari perkebunan (PT. Bumi Sari),” beber Taufiq.(aar/bpn)

Dapatkan berita terbaru dari Baliportalnews.com di Google News