Penampahan Galungan
Penampahan Galungan. Sumber Foto : Istimewa

BALIPORTALNEWS.COM, BADUNG – Penampahan galungan yang jatuh saat Anggara Wage Wuku Dunggulan, sehari menjelang Galungan adalah hari dari serangkaian perayaan Hari Suci Galungan yang ditandai dengan pemotongan babi atau nampah celeng. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada saat Hari Penampahan Galungan merupakan turunnya Bhuta Amangkurat, yang ingin menganggu kehidupan manusia yang akan melaksanakan Hari Suci Galungan, agar tidak bisa melakukan perayaan Hari Suci Galungan.

Disebutkan juga dalam lontar Sundarigama, yang harus dipotong saat penampahan Galungan adalah hewan babi mutlak. Pemotongan babi tidak semata-mata tidak memiliki makna, namun babi dibunuh sebagai simbul menyupat. Merubah hal-hal yang buruk menjadi baik. Semua persembahan daging babi simbol dari persembahan Durga.

Baca Juga :  Wali Kota Jaya Negara Hadiri Pemelaspasan Patung Tonggak Sejarah Pura Dalem Pengembak Sanur

Kemudian ada pertanyaan yang sangat sederhana, kenapa umat Hindu di Bali melakukan tradiri pemotongan babi pada Hari Penampahan Galungan ini? Tentu hal ini menjadi sebuah simbolisasi karena secara umum binatang babi memiliki sifat pemalas, serakah dan kotor.

Maka dari itu binatang babi dipilih untuk disembelih agar sifat-sifat tersebut dihilangkan dan dijadikan sesaji dengan tujuan agar umat Hindu yang akan melaksanakan perayaan Hari Suci Galungan terhindar dari sifat-sifat tersebut. Tentunya binatang juga memiliki sifat-sifat baik secara instingtif. Tentunya akan menjadi mubazir kalau perayaan Hari Penampahan ini kita rayakan hanya dengan pesta-pesta. Hendaknyalah disertai renungan agar dengan sungguh-sungguh kita berusaha untuk menyembelih sifat-sifat malas dan serakah yang mungkin masih melekat dalam diri kita.

Baca Juga :  The Nusa Dua Kembali Jadi Tuan Rumah Dua Event Bergengsi

Selain itu pelaksanaan Hari Raya Penampahan Galungan merupakan wujud ritual atau yadnya yang dirayakan dengan upacara Natab Sesayut Penampahan atau disebut dengan Sesayut Pamyak Kala Laramelaradan.

Makna dari prosesi ritual ini adalah untuk mengingatkan umat agar membangun kekuatan Wiweka Jnana atau membangun kekuatan diri untuk mampu membeda-bedakan Rwa Bineda, yaitu Mana yang benar dan mana yang salah, Mana yang baik dan mana yang buruk, Mana yang patut dan mana yang tidak patut.

Dengan demikian secara tegas dapat kita menghindar dari kesalahan-kesalahan yang dapat membawa kita pada kehidupan yang adharma. (Anak Agung Sri Anggreni, S.Pd.H, Penyuluh Agama Hindu Kecamatan Mengwi, Badung)

Dapatkan berita terbaru dari Baliportalnews.com di Google News