Sengketa Medis
I Gede Perdana Yoga. Sumber Foto : Istimewa

BALIPORTALNEWS.COMKesehatan adalah suatu unsur penting dalam hidup manusia. Pemenuhan akan kesehatan adalah salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh manusia. Selain kebutuhan primer, sekunder, dan tersier, pemenuhan akan kesehatan adalah kunci bagi manusia untuk menjalankan semua kegiatannya dan pada akhirnya dapat memenuhi tiga unsur kebutuhan manusia tersebut. Manusia adalah makhluk yang rentan terhadap segala macam penyakit, oleh sebab itu pemeliharaan kesehatan juga harus didukung oleh sarana dan prasarana pelayanan kesehatan yang baik.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, di dalamnya mengatur tentang hak-hak yang diberikan kepada warga negara Indonesia. Salah satunya dalam Pasal 28H Ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak atas pelayanan kesehatan. Setiap warga negara Indonesia, dijamin oleh Undang-Undang bahwa mereka memiliki hak atas pelayanan kesehatan tanpa dibeda-bedakan status sosialnya. Hak pasien diatur lebih lengkap pada Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan sebagai konsumen pelayanan kesehatan diatur melalui Undang-Undang Nomo 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Faktanya masih ditemukan banyak hak pasien yang masih diabaikan dan belum sepenuhnya mendapatkan hak yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pasien yang mengalami sengketa medik dengan dokter dan/atau dokter gigi sebagai tenaga medis dan juga dengan rumah sakit sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan, cenderung belum mendapatkan hak pasien sepenuhnya.

Pelayanan kesehatan tidak selalu bisa memberikan hasil sebagaimana yang diharap oleh pasien atau keluarga pasien, kesenjangan inilah yang sering menjadikan ketidakpuasan sehingga timbul sengketa kesehatan. Sengketa kesehatan jika dilihat dari periodenya bisa muncul  dalam periode pra perawatan, saat perawatan maupun paska perawatan, begitu juga kalau kita lihat dari areanya bisa muncul pada ranah kode etik, disiplin kedokteran maupun ranah yuridis.

Baca Juga :  Beda Masalah, Selesai di Tempat yang Sama

Sengketa dalam konteks hukum tercipta karena pertentangan rasa keadilan dan kepastian hukum. Terdapat 3 (tiga) nilai yang harus ada sebagai isi hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Sengketa medis lebih berhubungan antara dokter dan pasien yang mana keduanya sama-sama membuat hubungan hukum, jika terjadi sengketa medis didahulukan penyelesaiannya dengan cara mediasi yang berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Ada dua jenis hubungan hukum antara pasien dan dokter dalam pelayanan kesehatan, yaitu hubungan karena terjadinya kontrak terapeutik dan hubungan karena adanya peraturan-perundangan. Dalam hubungan yang pertama, diawali dengan perjanjian (tidak tertulis) sehingga kehendak kedua belah pihak diasumsikan terakomodasi pada saat kesepakatan tercapai. Kesepakatan yang dicapai antara lain berupa persetujuan tindakan medis atau malah penolakan pada sebuah rencana tindakan medis. Hubungan karena peraturan-perundangan biasanya muncul karena kewajiban yang dibebankan kepada dokter karena profesinya tanpa perlu dimintakan persetujuan pasien.

Banyak pakar kesehatan berpandangan bahwa hubungan pelayanan kesehatan adalah hubungan atas dasar kepercayaan. Pasien percaya terhadap kemampuan dokter untuk berupaya semaksimal mungkin menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Pasien juga percaya bahwa dokter akan berupaya semaksimal mungkin selain menyembuhkan penyakitnya juga akan mengurangi penderitaannya. Besarnya kepercayaan yang terbangun dalam pandangan publik inilah yang seringkali berbuah kekecewaan ketika harapan tidak terwujud, dan inilah jalan melahirkan konflik atau sengketa. Biasanya pemicunya adalah ketika kekecewaan tersebut tidak di sertai komunikasi yang efektif. Jadi sekali lagi komunikasi adalah kata kunci dalam sebab-musabab sebuah konflik atau sengketa.

Sengketa Medik adalah sengketa yang terjadi antara pasien atau keluarga pasien dengan tenaga kesehatan atau antara pasien dengan rumah sakit/fasilitas kesehatan. Biasanya yang dipersengketakan adalah hasil atau hasil akhir pelayanan kesehatan dengan tidak memperhatikan atau mengabaikan prosesnya. Padahal dalam hukum kesehatan diakui bahwa tenaga kesehatan atau pelaksana pelayanan kesehatan saat memberikan pelayanan hanya bertanggung jawab atas proses atau upaya yang dilakukan (Inspanning Verbintennis) dan tidak menjamin/ menggaransi hasil akhir (Resultalte Verbintennis).

Baca Juga :  Beda Masalah, Selesai di Tempat yang Sama

Sengketa medis yang muncul dalam instansi rumah sakit memberikan kewajiban bahwa Rumah Sakit berkewajiban untuk melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas rumah sakit dalam melaksanakan tugas sesuai dengan Pasal 29 huruf (s) Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, salah satunya adalah dengan menyelesaikan sengketa medis melalui jalur mediasi.

Secara filosofis penyelesaian sengketa merupakan upaya untuk mengembalikan hubungan para pihak yang bersengketa dalam keadaan seperti semula, dengan pengembalian hubungan tersebut maka mereka dapat mengadakan hubungan baik sosial maupun hubungan hukum antara satu dengan lainnya. Penyelesaian adalah proses perbuatan cara menyelesaikan. Menyelesaikan diartikan sebagai menyudahkan , menjadikan berakhir, membereskan atau memutuskan, mengatur memperdamaikan (perselisihan atau pertengkaran) atau mengatur suatu sehingga menjadi baik.

Penyelesaian sengketa yang saat ini banyak diketahui oleh masyarakat adalah melalui cara litigasi yaitu beracara di pengadilan,  karakteristik penyelesaian sengketa  melalui jalur litigasi adalah bersifat terbuka, rigid yakni mengikuti prosedur formal beracara di pengadilan, otoritas ada dipengadilaan, diperlukan adanya peran pengacara, dan putusan berupa menang atau kalah, karakteristik ini tentu kurang tepat jika diterapkan pada sengketa kesehatan, karena pada umumnya sengketa kesehatan lebih  pada permintaan dan pemberian penghargaan diri dari pasien,  perbaikan pelayanan dari lembaga dan atau ganti rugi terhadap kelainan yang timbul dari suatu proses pelayanan kesehatan.

Mediasi merupakan bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang diakui oleh  hukum dan lembaga penegak hukum  di Indonesia, bahkan setiap sengketa yang masuk dalam pengadilan diharuskan untuk di mediasi terlebih dahulu sebelum masuk dalam proses peradilan, ketentuan ini diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2008.  Dalam hal penyelesaian sengketa kesehatan melalui mediasi, Pasal 29 Undang‐ Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 dapat dijadikan dasar hukum pelaksanaannya.

Baca Juga :  Beda Masalah, Selesai di Tempat yang Sama

Pengembangan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa mempunyai dasar hukum yang kuat  yaitu  Pasal 6  Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa, Pasal 130 HIR/154 Rbg dan  Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2003 yang disempurnakan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2008. Dalam penyelesaian sengketa kesehatan melalui proses mediasi di akomodir dalam ketentuan yang dikeluarkan oleh konsil kedokteran Indonesia begitu juga dalam Undang‐Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 pasal (29) “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”

Berdasarkan pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1990 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. Proses mediasi yang telah dilakukan oleh para pihak yang bersengketa apabila tidak menemukan kesepakatan, maka mediasi dianggap gagal dan harus dilakukan melalui jalur litigasi di Pengadilan Negeri yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa tersebut.

Produk hukum dari suatu proses mediasi merupakan kesepakatan para pihak yang berbentuk kesepakatan perdamaian. Perjanjian yang menjadi produk dari mediasi tersebut tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebagaimana putusan damai. Kedudukan putusan damai adalah bersifat inkraht van gewijsde dan memiliki kekuatan eksekutorial. Kesepakatan damai yang telah dikukuhkan menjadi putusan damai maka sejak saat itu akta perdamaian mempunyai kekuatan hukum tetap dan klausul-klausul dalam akta perdamaian akan menjadi dasar bagi proses eksekusi seperti layaknya eksekusi putusan pengadilan pada umumnya. Putusan hakim dalam akta perdamaian mengandung sifat perintah/penghukuman yang wajib dilaksanakan oleh para pihak. (I Gede Perdana Yoga, SH., MH/Rumah Sakit Universitas Udayana)

Dapatkan berita terbaru dari Baliportalnews.com di Google News