Siwaratri
(Kiri) Praktisi pendidikan, I Wayan Ritiaksa, (Kanan) Kadisdikpora Kota Denpasar, AA Gede Wiratama. Sumber Foto : Istimewa

BALIPORTALNEWS.COM, DENPASAR – Umat Hindu kembali merayakan hari suci Siwaratri, pada Jumat (20/1/2023). Pada hari suci yang datang setahun sekali yaitu pada hari ke-14 paruh gelap bulan ketujuh (panglong ping 14 sasih Kapitu) tersebut umat Hindu melaksanakan brata Siwaratri yaitu majagra (melek atau tidak tidur), upawasa (tidak makan dan minum) dan monabrata (diam tidak melakukan aktivitas), atau sesuai dengan tingkat pemahaman masyarakat tentang cerita Lubdaka yang seorang pemburu bisa mendapatkan surga.

Praktisi pendidikan, I Wayan Ritiaksa, Kamis (19/1/2023) mengungkapkan, terlepas dari cerita yang berkaitan dengan Siwaratri, tujuan terakhir dari kehidupan sesungguhnya adalah moksa bukan surga. Surga dan neraka itu hanyalah jalan yang ditempuh untuk bisa sampai pada moksa. Jalan surga diperuntukkan bagi mereka yang berbuat benar dan jalan neraka diperuntukkan bagi mereka yang berbuat jahat.

Baca Juga :  Percepat Keuangan Daerah dan Inklusi, Wali Kota Jaya Negara Bersama OJK Luncurkan TPAKD

Lalu bagaimana bisa si Lubdaka adalah seorang pemburu yang suka membunuh binatang (himsa karma) bisa masuk surga? Dilihat dari sisi membunuh dalam kitab Slokantara ada yang disebut Panca Awitha: artinya lima macam pembunuhan yang dibenarkan bahkan diwajibkan berdasarkan wiweka adalah pertimbangan benar dan salah yaitu:

Dewa Puja adalah membunuh dalam artian menyembelih binatang untuk kepentingan persembahan kepada dewa (Tuhan);

Pitra Puja adalah membunuh binatang yang akan dipersembahkan kepada para leluhur

Atithi Puja adalah membunuh binatang yang dipersembahkan kepada tamu atau untuk dimakan. Dalam hal ini semua manusia di dunia ini adalah tamu.

Dharma Wigatha adalah kewajiban membunuh binatang yang mendatangkan penyakit atau dapat menyengsarakan seperti; nyamuk, kecoak, lalat dan termasuk semua jenis hama yang mengganggu tanaman sebagai sumber kehidupan masyarakat; dan Dharma Satria adalah kewajiban membunuh musuh dalam keadaan perang.

Lebih lanjut dikatakan Ritiaksa, dilihat dari sisi jagra/kesadaran, pada umumnya umat Hindu merayakan Siwaratri dengan cara begadang semalam suntuk, inilah disebut jagra yang dapat dimaknai sebagi kesadaran atau sadar sepenuhnya bukan tidur.  Hal ini perlu dimaknai lebih dalam lagi. Jika kegelapan pikiran dapat diterangi dengan kesadaran akan kebenaran dan kebaikan, maka saat itulah perayaan Siwaratri itu menjadi lebih bermakna dan lebih sempurna.

“Sebaiknya merayakan Siwaratri dengan begadang semalam suntuk sambil merenungkan perihal hakekat kebenaran tertinggi, bukan sekadar begadang yang tanpa makna,” pesannya.

Baca Juga :  Wujudkan Keanggotaan yang Berperan Aktif dan Berkontribusi, Pj Gubernur Bali Kukuhkan Kepengurusan PWRI Provinsi Bali 2024-2029

Terpisah, Kadisdikpora Kota Denpasar, AA Gede Wiratama, mengungkapkan, dalam dunia pendidikan, khususnya bagi seorang pelajar, Siwaratri bisa diartikan memburu pengetahuan. Lubdhaka yang diceritakan sebagai pemburu di hutan bisa diaktualisasikan dengan konteks kekinian.

“Memburu kebajikan juga bisa diartikan memburu ilmu pengetahuan dan dharma,” ujar Wiratama.

Purwaning Tilem Kapitu, katanya, juga sebagai malam tergelap dalam setahun, merupakan kegelapan alam (makrokosmos). Dalam mikrokosmos (badan dan pikiran) manusia pun mengalami kegelapan. Namun, dalam kegelapan pikiran (awidya) itu, manusia hendaknya tetap jagra (sadar) dan eling (mawas diri dan tetap waspada), melalui satya brata Siwaratri.

“Jadi, puja dan yoga Siwaratri hendaknya dijadikan momen penyadaran diri, mawas diri dari kegelapan batin, sehingga tak terjerumus kepada dosa papa yang mencelakakan,” lugas Wiratama.(tra/bpn)

Dapatkan berita terbaru dari Baliportalnews.com di Google News