Baliportalnews.com
Baliportalnews.com

BALIPORTALNEWS.COM – Monetisasi lapangan gas semakin mudah seiring deregulasi di industri minyak dan gas (migas). Hal ini diungkapkan Waras Budi Santosa, Kepala Divisi Monetisasi Minyak dan Gas SKK Migas, pada Special Session IPA Convex 42th yang bertema Improving Indonesia’s Gas Business from Upstream to Downstream, Jumat (4/5/2018).

Di bidang perizinan misalnya, dari 373 izin yang ada di sektor hulu migas, pemerintah telah menguranginya hanya menjadi 186 izin. Selain itu, produsen gas juga telah diberikan kemudahan untuk menjual gasnya ke pengguna akhir.

“Tidak lagi point to point, tapi sekarang multi destination. Jadi satu PJBG tidak hanya untuk satu pabrik atau industri, tapi bisa dipakai untuk empat pabrik di wilayah tersebut,” kata Waras.

Sejumlah upaya yang dilakukan pemerintah ini memudahkan SKK Migas dalam mempercepat monetisasi lapangan gas. “Dengan deregulasi, diharapkan proses pembukaan lapangan dari perencanaan hingga onstream hanya membutuhkan waktu lima tahun, lebih cepat dari rata-rata delapan tahun,” katanya.

Baca Juga :  JNE Raih Penghargaan Mitra UMKM pada UMKM Summit Awards 2024

Menurut Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, industri migas merupakan penggerak efek berganda dalam perekonomian Indonesia. Efek ini bisa tambah besar apabila pemerintah mau mengurangi pembagian keuntungan negara dari industri migas, dan mengalihkannya untuk subsidi industri.

“Migas sebaiknya bukan menjadi sumber devisa, tetapi menjadi energi perekonomian Indonesia. Caranya dengan mengurangi bagi hasil untuk pemerintah dan berdampak pada pertumbuhan industri,” katanya.

Sementara itu, Achmad Safiun, Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi, mengatakan tingginya harga jual gas di dalam negeri membuat industri nasional kurang bersaing dengan industri di luar negeri. Menurutnya, harga gas masih relatif tinggi saat sampai ke tangan pengguna. Padahal harga di negara lain justru cenderung mengalami penurunan.

“Di luar negeri, harga gas bisa turun hingga 60 persen dalam beberapa tahun terakhir. Sedangkan di Indonesia sampai sekarang tidak mengalami penurunan,” ujar Safiun.

Akibat tingginya harga gas, industri tidak dapat menekan biaya produksi. Ini berdampak pada rendahnya minat investor menanamkan modalnya di tanah air. Pada akhirnya kondisi ini membuat kontribusi industri nasional juga turun dan menyebabkan berkurangnya tingkat penyerapan tenaga kerja.

Tingginya harga domestik diakui oleh Jobi Triananda Hasjim, Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk. Panjangnya mata rantai penjualan gas, menurutnya, menjadi penyebab utama mahalnya harga gas domestik. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menanggulangi masalah ini dengan cara memperbaiki infrastruktur jaringan gas, sehingga mempersingkat distribusi gas hulu ke pengguna akhir.

Baca Juga :  Nuanu Hadirkan Pameran Residensi Seni 'Adicitta Buana' Menampilkan Karya Delapan Seniman Indonesia

“Kadang-kadang, jarak antara industri sebagai pengguna akhir dan supply-nya jauh. Ini yang menyebabkan biaya energi menjadi lebih mahal. Seandainya kita bisa membawa industri lebih dekat ke upstream, maka biayanya akan lebih murah,” katanya.

Di tataran korporasi, Jobi melanjutkan, yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki tata kelola migas adalah dengan membentuk perusahaan induk (holding), khususnya di sektor gas. Bergabungnya Pertagas ke dalam PGN, diharapkan dapat meningkatkan kapasitas distribusi dan kemampuan bisnis industri gas nasional. “Pada akhirnya, gas diharapkan bisa dinikmati lebih banyak orang,” ujar dia. (r/bpn)

Dapatkan berita terbaru dari Baliportalnews.com di Google News