Baliportalnews.com
Baliportalnews.com

BALIPORTALNEWS.COM – Data Kementrian ESDM tahun 2016 mencatat terdapat 12.000 desa di Indonesia yang belum teraliri listrik. Bahkan 2.915 desa diantaranya belum teraliri listrik sama sekali. Salah satu desa yang masih belum teraliri listrik tersebut adalah Desa Lewara di Sulawesi Tengah.

Kondisi ini mendorong Tim Peneliti Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di daerah tersebut. Pembangunan PLTMH dilakukan untuk memenuhi kebutuhan listrik yang selama ini belum terlayani oleh PLN karena lokasi yang terpencil dan sulit dijangkau oleh transportasi.

Desa Lewara terletak di Kecamatan Marawola Barat, Kabupaten Sigi, berada di bukit Matantimali dengan ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut.  Berjarak sekitar 90 Kilometer dari ibu kota provinsi Sulawesi Tengah, Palu.

Untuk mencapai lokasi tersebut dapat dijangkau dengan perjalanan darat selama 1 jam menggunakan mobil dari pusat Kota Palu hingga akses jalan terakhir yang dapat dilewati mobil di Desa Matantimali. Selanjutnya perjalanan ke Lewara harus ditempuh dengan ojek khusus selama 30 menit melalui jalan setapak berbatu selebar 1 meter. Menyusuri jalanan yang tidak rata penuh dengan tanjakan, turunan, dan kelokan tajam di sepanjang lereng Gunung Matantimali dan sisi lain jurang yang cukup dalam menambah berat perjalanan menuju desa Lewara. Sementara pada musim hujan, jalanan semakin sulit dilewati karena bukit rawan longsor.

Baca Juga :  Pertamina Mandalika International Circuit Jadi Magnet Pariwisata Olahraga, Baru Setahun Sudah 200 Hari Terpesan untuk Gelaran Event Otomotif

Desa Lewara terdiri dari lima dusun yang seluruhnya belum mendapatkan aliran listrik dari pemerintah. Sementara pembangkit listrik yang tengah dibangun oleh UGM ini berada sekitar 200 meter tidak jauh dari pemukiman penduduk, tepatnya di dusun I Lewara yang memiliki 100 kepala keluarga (KK) dengan penduduk sekitar 300 jiwa. Memanfaatkan aliran sungai Lewara yang memiliki debit kritis 90-100 liter/detik dirancang nantinya dapat mengaliri listrik untuk 100 KK.

“Kita manfaatkan aliran Sungai Lewara untuk pembangkit listrik dengan kapasitas 10 Kilowatt. Nantinya dalam tahap awal akan dialirkan ke 100 rumah sehingga masing-masing mendapat aliran listrik sebasar 100 watt,” kata Ketua Tim Peneliti UGM, Dr.Ir. Suprapto Siswosukarto, belum lama ini.

Prapto menyampaikan bahwa warga Lewara telah lama memimpikan bisa menikmati aliran listrik. Hanya saja, listrik masih jauh dari jangkauan mereka. Karenanya, melalui program Community Resilience and Economic Development (CaRED), UGM  bekerjasama dengan pemerintah Selandia Baru berupaya membangun daerah tertinggal di Indonesia timur salah satunya  menghadirkan listrik bagi masyarakat Lewara.

Bersama dengan tiga peneliti UGM lainnya yaitu Prof.Dr.Ir.Bambang Yulistiyanto,Dr.Ir.T.Aris Sunantyo, M.Sc.,  dan Dr.Ir.Prajitno, M.T., Prapto memulai membangun PLTMH dengan memanfaatkan aliran Sungai Lewara sebagai pembangkit listrik. Pengembangan PLTMH telah dimulai pada bulan Februari 2017 lalu dan ditargetkan dapat segera selesai pada akhir Desember 2017.

“Adanya PLTMH ini tidak hanya untuk menghadirkan listrik bagi warga saja, namun lebih dari itu mampu meningkatkan pengembangan potensi ekonomi masyarakat,” harapnya.

Masyarakat Lewara tergolong miskin dengan tingkat pendidikan rendah. Mayoritas bekerja sebagai petani kakao, kopi, jagung, dan cengkeh dengan penghasilan kurang dari 1 juta setiap bulan. Ketiadaan listrik semakin mempersulit warga untuk maju dan berkembang.

“Dengan adanya listrik diharapkan dapat mendukung kegiatan warga sehingga mampu meningkatkan perekonomian masyarakat Lewara,” jelasnya.

Salah satu warga Kampung I Lewara, Naji (53) menuturkan warga Lewara sudah lama mengharapkan kehadiran listrik di desanya. Namun hingga saat ini mereka belum dapat menikmati listrik secara langsung.

“Sudah 72 tahun Indonesia merdeka, tetapi Lewara belum Merdeka. Setiap malam kami hidup dalam gelap, hanya bisa memandang dari kejauhan kelap-kelip lampu di Kota Palu,” ujarnya.

Baca Juga :  Sambut Lebaran 2024, Honda Siapkan Layanan Posko dan Dealer Siaga di Berbagai Daerah

Untuk penerangan di malam hari, selama ini warga Lewara masih menggunakan alat penerangan tradisional yaitu lampu dari minyak tanah. Dalam beberapa tahun terakhir sebagian kecil ada yang menggunakan genset dan panel surya. Dengan genset untuk menyalakan lampu dari pukul 18.00-23.00 WITA membutuhkan 2 liter bensin. Sementara harga bensin di wilayah ini Rp.10.000,- per liter. Dengan demikian pemilik genset harus mengeluarkan Rp. 600.000,- setiap bulannya untuk penerangan.

“Kami senang dan bersyukur dengan pembangunan PLTMH ini, semoga bisa segera menikmati listrik ,” kata Naji.

Kepala Desa Lewara, Yude menyambut gembira pembangunan PLTMH yang dilakukan oleh UGM ini. Menurutnya, dengan adanya listrik akan membawa kemajuan dan mengembangkan potensi usaha di masyarakat seperti pengolahan hasil perkebunan, bengkel sepeda dan lainnya.

“Kami sangat berterima kasih kepada UGM yang telah membantu warga Lewara untuk mendapatkan listrik. Semoga PLTMH bisa segera berjalan dan ke depan dinantikan bantuan untuk menghadirkan listrik di dusun-dusun lain di Lewara,” paparnya. (ika/humas-ugm/bpn)


Pantau terus baliportalnews.com di :

Dapatkan berita terbaru dari Baliportalnews.com di Google News