BALIPORTALNEWS.COMTahun 2016 merupakan tahun ketiga pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), sebuah kebijakan kesehatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat. Hingga saat ini, JKN telah memberikan manfaat kepada jutaan warga Indonesia. Meski demikian, kebijakan ini masih memiliki banyak kekurangan. Di penghujung tahun 2016, JKN menjadi salah satu kebijakan kesehatan penting yang perlu direfleksikan untuk keperluan pengembangan dan perbaikan di tahun 2017.

“Sudah saatnya pada tahun 2017 dilakukan evaluasi terhadap kebijakan BPJS. Kita menghadapi situasi yang cukup serius, karena ada berbagai masalah konseptual yang perlu ditelaah lebih detil. Pada tahun yang keempat nanti akan sangat krusial untuk menyatakan bahwa kita memerlukan agenda baru terkait sistem kesehatan di Indonesia,” ujar Ketua Board Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran UGM, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc. Ph.D.

Hal ini ia sampaikan dalam Diskusi Refleksi 2016 dan Outlook Kebijakan & Manajemen Kesehatan 2017 yang diselenggarakan oleh PKMK, Jumat (23/12/2016) di Hotel Phoenix Yogyakarta. Dalam kesempatan ini, Laksono menyampaikan paparan terkait refleksi sektor kesehatan secara umum di Indonesia. Ia mempertanyakan efektivitas BPJS dalam mencapai misi untuk memberikan kemudahan dan pemerataan akses pelayanan kesehatan di seluruh pelosok negeri. Hingga saat ini, menurutnya, BPJS justru lebih banyak dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki akses terhadap sarana kesehatan.

“Pada tahun 2016 ini kita belum bisa meningkatkan pemerataan dan mutu. Kelompok yang di kota besar bisa mendapatkan manfaat yang jauh lebih banyak daripada mereka yang berada di kota-kota terpencil,” imbuhnya.

Baca Juga :  Turnamen Kartu Pokémon Regional League 2023-24 Indonesia Vol. 3 Siap Digelar di Bali

Persoalan terkait efektivitas BPJS, menurut Laksono, bukan hanya terletak pada pelaksanaannya, melainkan juga dalam proses kebijakan dan penetapan agenda. Selain itu, hubungan antarlembaga terkait juga belum berjalan dengan baik. Untuk tahun mendatang, ia menyebutkan 3 solusi yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah, yaitu penambahan sumber dana, pembatasan pengeluaran, serta dana kompensasi.

“Pemerintah harus memikirkan bagaimana bisa menjamin pemerataan, juga apakah memang perlu BPJS semua atau bisa ada alternatif sistem yang lebih baik,” ucap Laksono.

Sementara itu, dalam tingkat global, sepanjang tahun 2016 masyarakat dunia juga menyaksikan berbagai krisis dalam dunia kesehatan, terutama terkait penyebaran wabah penyakit serta situasi krisis akibat bencana alam atau konflik bersenjata. Dalam konteks kesehatan global, tahun 2016 bahkan disebut sebagai tahun yang suram.

“Banyak hal-hal yang memprihatinkan dan mengkhawatirkan terjadi di tahun 2016. Berbagai outbreak penyakit yang muncul sepanjang tahun ini menunjukkan bahwa sistem kesehatan kita saat ini masih sangat rentan,” ujar Direktur PKMK, dr. Yodi Mahendradhata, MSc. Ph.D.

Salah satu hal yang cukup menyedot perhatian dunia dalam tahun ini adalah penyebaran virus Zika. Kerentanan sistem kesehatan dunia, menurut Yodi, tampak dalam ketidaksiapan berbagai negara dalam menghadapi penyebaran virus ini.

Selain persoalan terkait persebaran penyakit, Yodi juga menyebutkan berbagai gejolak dalam politik dunia, seperti keluarnya Inggris dari Uni Eropa serta terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat. Hal ini, menurutnya, akan memiliki pengaruh tertentu terhadap sistem kesehatan dunia, terutama terkait dana bantuan yang biasanya banyak disumbangkan oleh negara-negara besar tersebut.

Baca Juga :  40 Persen Omzet dari Ekspor, UMKM Pekalongan Ungkap Strategi Tembus Ekspor bersama Shopee

Terkait prospek kesehatan di tahun 2017, ia mengaku bahwa cukup sulit untuk memprediksi apa yang akan terjadi. Meski demikian, ia menyebutkan bahwa kondisinya mungkin tidak jauh berbeda dengan kondisi di tahun 2016 yang diwarnai dengan berbagai krisis. Karena itu, ia menekankan pentingnya peningkatan kapasitas serta daya lenting pelaku kesehatan untuk merespon krisis dan tetap menjalankan fungsi utamanya saat krisis berlangsung.

“Sistem kesehatan harus resilient, cepat bangkit setelah krisis, bahkan rebound menjadi lebih kuat. Resiliensi juga memerlukan kapasitas untuk mendeteksi ancaman kesehatan sebelum itu terjadi, agar kita tidak tergagap-gagap,” imbuhnya. (bpn)

Dapatkan berita terbaru dari Baliportalnews.com di Google News