Sembahyang Hindu
Sembahyang di Pura. Sumber Foto : Istmewa

BALIPORTALNEWS.COM, BADUNG – Hari Raya Kuningan adalah hari raya yang dirayakan umat Hindu Dharma di Bali setelah Hari Raya Galungan.

Perayaan ini jatuh pada hari Saniscara (Sabtu), Kliwon, wuku Kuningan. Hari raya ini dilaksanakan setiap 210 hari, dengan menggunakan perhitungan kalender Bali (1 bulan dalam kalender Bali=35 hari).

Perayaan hari raya Kuningan pada tahun ini dirayakan pada tanggal 24 april 2021. Kuningan berasal dari kata ning yakni pikiran suci sebagai suksmaning idep kita menjadi umat manusia untuk menerima anugrah.

Perayaan hari raya Kuningan merupakan perayaan turunnya Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, para dewa dan dewa pitara ke dunia yang bertujuan untuk melimpahkan karunia-Nya berupa kebutuhan pokok.

Baca Juga :  Jalan Kaki Sejauh 5 Kilometer, Ribuan Umat Hindu Iringi Upacara Melasti Karya Ida Bhatara Turun Kabeh

Biasanya pada hari hari Kuningan dibuatkan tebog atau selanggi yang berisi nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan (malaikat) yang melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita semua sebagai lambang kemakmuran dan dihaturkan yadnya sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan sandang, dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umat-Nya atas dasar cinta-kasihnya.

Selain itu ada beberapa jenis sampian yang digunakan pada Hari Raya Kuningan yaitu, Endongan (simbol kebijaksanaan, etika dan peraturan dalam satu wadah) sebagai persembahan kepada Hyang Widhi. Tamiang sebagai simbol penolak malabahaya. Kolem/Pidpid sebagai simbol linggih hyang Widhi, para Dewa dan leluhur kita.

Baca Juga :  KPK Observasi Program Percontohan Kabupaten Antikorupsi di Badung

Umumnya, pelaksanaan upacara pada saat Kuningan atau pun persembahyangan hanya dilakukan hanya setengah hari saja, sebelum jam 12 siang pelaksanaan sudah harus berakhir, karena sebelum siang hari energi alam semesta seperti kekuatan pertiwi (bumi), akasa (ether), apah (air), teja (cahaya) dan bayu (udara) mencapai puncaknya.

Setelah siang hari memasuki masa pralina (peleburan) yang mana kelima energi tersebut sudah kembali ke asalnya, dan juga para Pitara (leluhur), Bhatara dan Dewa sudah kembali ke nirwana. Lontar Sundarigama menjelaskan Ida Hyang Siwa Mahadewa diikuti oleh para Dewa dan Pitara (leluhur) turun dari kayangan menuju mercapada (Bumi). (Anak Agung Sri Anggreni, S.Pd.H, Penyuluh Agama Hindu Kecamatan Mengwi, Badung)

Dapatkan berita terbaru dari Baliportalnews.com di Google News