Baliportalnews.com
Baliportalnews.com
  • Judul Buku : Membunuh Hantu-Hantu Patriarki
  • Penulis : Dea Safira
  • Penerbit : Jalan Baru
  • ISBN : 978-602-51498-9-4
  • Jumlah Halaman : x + 196

Membunuh Hantu-Hantu Patriarki sudah menarik perhatian saya sejak pertengahan tahun 2019 lalu. Ketertarikan saya bukan tanpa alasan, akhir tahun 2019 saya memang sangat tertarik untuk membaca buku tentang perempuan yang terkenal dengan sebutan feminisme. Hal yang membuat saya tertarik sederhana saja, ingin mencari tahu seperti apa sebenarnya gerakan perempuan sejak dulu hingga kini dan pandangan perempuan tentang fenomena kehidupan saat ini. Hadirlah buku ini, siapapun saya yakin pasti tertarik dengan judul buku yang menurut saya sangatlah sarkas dengan menggunakan kata “membunuh” di awal judul bukunya. Selain judul bukunya, cover buku yang didominasi warna putih dengan hiasan bercak darah ditengahnya yang didalamnya terdapat gambar simbol perempuan yang terbelenggu oleh rahang dengan gigi taring yang tajam layaknya drakula. Dua hal tersebut yang membuat saya tertarik dan memutuskan untuk memiliki buku ini.

Buku yang diterbitkan oleh Jalan Baru ini saya dapatkan langsung di Berdikari Book, Yogyakarta saat mendapatkan tugas dari kantor. Dalam proses membaca buku ini, hampir disetiap halamannya saya merasa wajah saya ditunjuk oleh perempuan yang menyampaikan pandangannya secara fear tanpa ada yang ditutup-tutupi. Dalam buku ini disampaikan segala pandangan penulis tentang bagaimana kaum-kaum patriarki (baca: laki-laki) selalu memandang perempuan sebagai warga negara kelas dua dan mengarahkan perempuan hanya ke ranah domestik saja. Kasarnya perempuan itu urusannya cukup Sumur, Dapur dan Kasur selebihnya adalah ranah laki-laki.

Baca Juga :  Disbud Buleleng Usulkan Tiga Tradisi untuk Meraih Predikat WBTB Tahun 2024

Dea Safira sebagai penulis benar-benar menguak permasalahan yang dihadapi oleh perempuan secara gamblang. Buku ini terdiri dari 3 bagian dengan 38 essai didalamnya. Penempatan urutan tulisan pun saya rasa sangat baik, dimana bagian pertama yang diberi tajuk “Pemikiran Perempuan” mampu memberikan gambaran umum kepada kita selaku pembaca tentang sejarah dari gerakan perempuan, relevansi gerakan perempuan di Indonesia dengan dasar negara juga disini penulis menjelaskan bahwa stigma masyarakat awam tentang emak-emak sungguhlah melecehkan kaum perempuan di Indonesia. Hal ini dikarenakan apa yang sudah menjadi “cap” bagi emak-emak dinilai merendahkan kaum perempuan padahal kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh emak-emak tidak hanya dilakukan oleh mereka, tetapi kaum laki-laki pun melakukan hal yang sama. Dalam bagian pertama, penulis juga memberi penekanan pada poin bahwa perempuan berhak untuk menentukan pilihannya sendiri (self determination) tanpa harus bergantung dengan kaum laki-laki. Satu lagi hal yang menarik dalam bagian ini, Dea Safira menuliskan gagasannya dalam memperjuangkan hak perempuan saat menstruasi. Selama ini laki-laki terlalu menganggap remeh menstruasi yang dialami oleh perempuan, penekanan dilakukan agar laki-laki bisa menaruh empati pada perempuan yang sedang menstruasi hingga pemenuhan hak-haknya ketika menstruasi. Juga dituliskan dengan rinci alternatif selain  penggunaan pembalut oleh perempuan agar lebih efisien, aman dan ramah lingkungan.

Bagian kedua diberikan tajuk “Membangun Cinta Setara”. Dalam bagian ini banyak dituliskan cara, gagasan ideal dan harapan kepada perempuan untuk bisa membangun sebuah hubungan dengan lawan jenis berlandaskan tanpa paksaan atau tidak berada dibawah dominasi laki-laki. Sehingga apa cita-cita perempuan tak terhambat hanya karena keinginan laki-laki yang mengarahkan perempuan ke arah domestik seperti yang telah dibahas sebelumnya. Selain itu, penulis juga mengungkapkan kebiasaan laki-laki yang melecehkan perempuan baik melalui verbal maupun non verbal, parahnya lagi hal itu seakan-akan dimaklumi oleh lingkungan di Indonesia cenderung memojokkan perempuan dalam setiap kasus yang menimpa perempuan. Dalam bagian ini Dea Safira menekankan bahwa perempuan bukanlah subjek yang seenaknya bisa memperlakukan perempuan seenak dengkul.

Baca Juga :  Naluriku Menari Siap Digelar di Kota Denpasar, Jadi Ruang Kreativitas untuk Asah Skill Generasi Muda di Bidang Seni Tari

Selanjutnya bagian terakhir adalah “Membunuh Hantu-Hantu Patriarki” bagian yang sekiranya menjadi puncak dari tulisan-tulisan Dea Safira dalam buku ini. Dalam bagian ini lebih banyak membeberkan case yang menimpa perempuan dan secara umum merugikan perempuan baik psikis maupun fisik. Disini diperlihatkan praktek kaum laki-laki dalam menggiring perempuan hanya untuk urusan domestik saja seperti konsumsi, dll. Hal ini terlihat dalam kehidupan aktivisme kampus, dimana kita bisa lihat sangat jarang sekali perempuan mendapatkan porsi untuk memimpin sebuah lembaga atau organisasi. Perempuan hanya mendapatkan peran teknis seperti surat menyurat, konsumsi, hingga menjadi pelengkap dalam sebuah acara kampus. Hal ini perlu direnungi bersama bahwa perempuan juga memiliki potensi yang sama untuk menjadi pemimpin, sehingga janganlah untuk memandang perempuan sebagai warga negara kelas dua setelah laki-laki.

Bagi saya, hal yang paling menarik adalah munculnya istilah “Misogini” istilah asing di telinga saya ini muncul pertama kali dalam tulisan yang berjudul  “Feminis Jawa”. Secara rinci penulis tak menjelaskan apa definisi dari istilah misogini ini, sehingga setelah saya ketik di mesin pencari arti dari misogini adalah kebencian atau tidak suka terhadap wanita atau anak perempuan. Definisi ini sangatlah pas untuk digunakan dalam realitas yang terpampang dalam masyarakat kita mengingat kekerasan terhadap perempuan hampir terjadi setiap hari. Selain itu gaya penulisan yang terkesan blak-blakan ini juga lebih efektif untuk memberikan shock therapy kepada kaum laki-laki agar mampu memperbaiki sikap kepada kaum perempuan yang mungkin selama ini masih dianggap buruk oleh perempuan. Pembagian peran yang masih lekat di segala lini kehidupan masyarakat Indonesia juga membuat gerakan perempuan semakin terhimpit dan tak bisa leluasa dalam berkarya serta menyampaikan pendapat mereka.

Baca Juga :  Jadi Wadah Partisipasi Anak Dalam Pembangunan, Sekda Alit Wiradana Buka Grand Final Gempita Anak Kota Denpasar Tahun 2024

Perempuan adalah sumber peradaban dunia, sudah semestinya kita menghormati kaum yang tak hanya berperan sebagai tulang rusuk tetapi mampu melebihi kemampuan laki-laki dalam berperan sebagai tulang punggung dalam sebuah keluarga. Kesetaraan akan terlihat lebih indah dibanding dengan dominasi satu pihak saja. Terima kasih saya ucapkan kepada penulis telah mampu memberikan kesempatan kaum laki-laki (termasuk saya didalamnya) mengetahui keresahan dan gagasan-gagasan nyata dari kaum perempuan.

Dapatkan berita terbaru dari Baliportalnews.com di Google News