Baliportalnews.com
Baliportalnews.com

BALIPORTALNEWS.COM – Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM mendesak Presiden Joko Widodo untuk secara tegas menolak revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Revisi UU KPK tersebut dinilai akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK.

“Urgensi revisi UU KPK sama sekali tidak jelas. Justru nuansa pelemahan terlihat jelas dalam substansi RUU KPK ini,” jelas peneliti PUKAT UGM, Hifdzil Alim, S.H., M.H., kepada wartawan di kantor PUKAT UGM, Selasa (21/3/2017).

Hifdzil mengatakan terdapat empat poin utama yang menjadi sorotan dalam revisi UU KPK ini. Antara lain munculnya Dewan Pengawas, pengaturan penyadapan, KPK tidak dapat melakukan pengangkatan penyidik indipenden, dan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Menurutnya,  munculnya dewan pengawas yang memiliki kewenangan melakukan penyadapan dan penyitaan ini akan menjadi resisten karena dewan pengawas dipilih dan diangkat oleh presiden. Lalu terkait penyadapan dapat dilakukan setelah bukti permulaan yang cukup. Hal ini menimbulkan konsekuensi penyadapan baru bisa dilakukan saat tahap penyidikan.

Baca Juga :  Dibuka Bupati, Porsenijar Karangasem 2024 Diikuti 718 Peserta

“Padahal penyadapan diperlukan sejak proses penyelidikan. Kalau penyadapan baru boleh dilakukan setelah ada bukti awal yang cukup, maka tidak jadi menyadap, ini cukup menggelikan” katanya.

KPK juga tidak dapat secara mandiri mengangkat penyidik. Dengan kata lain, KPK hanya boleh mengangkat penyidik dari lembaga lain seperti kepolisian kejaksaan, atau PPNS yang sewaktu-waktu bisa ditarik kembali ke instnasi asalnya. Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya potensi konflik kepentingan jika penyidik tersebut menangani kasus yang melibatkan institusi masing-masing.

“Terkait kewenangan KPK menerbitkan SP3 ini jelas menjadi langkah mundur karena dikhawatirkan bisa disalahgunakan untuk menghentikan suatu perkara. Tanpa SP3, KPK justru lebih dapat menjamin kualitas dan kematangan dalam menangani kasus,” urainya.

Zaenur Rohman, peneliti PUKAT lainnya menyampaikan revisi UU KPK merupakan salah satu bentuk pelemahan KPK yang dilakukan oleh DPR. Bahkan saat ini DPR mulai melakukan sosialisasi rencana revisi UU KPK ini termasuk di beberapa perguruan tinggi. Upaya pelemahan KPK tidak hanya dilakukan melalui revisi UU KPK saja, tetapi juga ditunjukkan dengan wacana hak angket  dalam pengusutan kasus korupsi e-KTP.

Menurutnya, pengajuan hak angket menjadi tidak tepat saat ditujukan kepada KPK yang tengah mengusut kasus korupsi e-KTP. Pasalnya, usulan hak angket ini akan mempengaruhi penegakan yang dilakukan KPK.

Baca Juga :  Avila Bahar dan Alvin Bahar Berhasil Raih Kemenangan Pada Seri Pembuka Kejuaraan Nasional Balap Mobil ISSOM Musim 2024

“Proses penegakan hukum tidak semestinya diganggu oleh maneuver-manuver politik,” katanya.

Zaenur meminta DPR untuk menghormati proses hukum kasus e-KTP. Tidak hanya itu, juga menghentikan berbagai bentuk maneuver poltik yang dapat memengaruhi proses hukum, termasuk hak angket.

“Kami terus mendukung KPK untuk melanjutkan proses hukum kasus e-KTP hingga tuntas,”tegasnya. (ika/humas-ugm/bpn)


Pantau terus baliportalnews.com di :

Dapatkan berita terbaru dari Baliportalnews.com di Google News