Baliportalnews.com
Baliportalnews.com

BALIPORTALNEWS.COM – Perubahan iklim merupakan salah satu isu permasalahan serius yang dihadapai berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia.  Fenomena anomali iklim La Nina yang merupakan rangkaian El-Nino Southern Oscilation (ENSO) tidak hanya menjadi ancaman terhadap ketahanan pangan nasional, tetapi juga kelestarian biodiversitas Indonesia.

Dekan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Budi Setiadi Daryono, M.Agr Sc., menyebutkan ENSO menjadi ancaman serius bagi kelangsungan keanekaragaman hayati di Indonesia.  Dampak ENSO bagi kehilangan dan kepunahan Biodiversitas memang tidak dapat dirasakan langsung seperti halnya pada ancaman ketahanan pangan. Namun,  kehilangan biodiversitas dalam jangka panjang justru akan menimbulkan kerusakan tatanan ekosistem yang lebih berat dan menimbulkan kerugian sistemik.

Baca Juga :  Penerimaan Pajak Usaha Ekonomi Digital Tembus Rp23,04 Triliun, Kripto Sumbang Rp580,2 Miliar

“Kehilangan keanekaragaman hayati dalam jangka panjang justru akan merusak tatanan ekosistem dan menyebabkan kerugian sistemik yang  tidak dapat diukur dengan materi karena berlangsungnya kepunahan,” tegasnya Kamis (16/3/2017) di Fakultas Biologi. 

La Nina yang membawa curah hujan lebih tinggi disertai kenaikan suhu dan kelembaban relatif rerata akan memberikan ancaman terhadap eksosistem dan dapat menimbulkan seleksi alam. Dalam hal ini, keberadaan La Nina akan menciptakan bottleneck effect terhadap spesies yang memiliki toleransi rendah akan kenaikan suhu serta cekaman perendaman akibat tingginya curah hujan dan kelembaban. Misalnya seperti yang terdapat pada ekosistem hutan padang rumput di Nusa Tenggara, sebagian Jawa Timur, dan Bali.

Baca Juga :  Astika Pande Paparkan Potensi Metaverse untuk Pendidikan di DTIK Festival 2024

“Flora dan fauna indigenous asli Indonesia bisa jadi terancam punah atau setidaknya, mengalami tekanan seleksi yang kurang menguntungkan,”

Dia mencontohkan pada penentuan jenis kelamin penyu hijau (Chelonia mydas L.).  Penentuan kelamin pada spesies ini sangat dipengaruhi kondisi suhu pada saat pengeramannya. Misalnya, pada suhu lebih dari 29°C maka anakan penyu umumnya berkelamin betina. Sebaliknya, pada suhu kurang dari 29°C maka umumnya anakan penyu berkelamin jantan. Sedangkan pada saat pengeraman suhu lingkunganya lebih dari 33°C maka akan menimbulkan kematian bagi embrio penyu.

Ketua Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI) ini mengatakan anomali iklim terjadi salah satunya karena aktivitas manusia. Karenanya dia  menekankan pentingnya menjaga kelestarian sumber daya hayati dan lingkungan.  Apabila kelestarian sumber daya hayati dan lingkungan terus terjaga akan mendukung ketahanan pangan nasional.

“Mari bersama menjaga kelestarian alam. Jika kita dapat melestarikan sumber daya hayati dan lingkungan maka ketahanan pangan akan terjamin,” tegasnya.

Budi pun meminta pemerintah untuk melakukan penanganan secara serius anomali iklim ini. Pemerintah bersama Kementrian pertanian, Perdagangan, dan Badan Usaha Logistis diharapkan dapat berperan aktif memprediksi, menyusun, dan mengeksekusi langkah-langkah mitigasi yang strategis dan tepat meliputi proses penyediaan pangan dari hulu hingga hilir. (ika/humas-ugm/bpn)


Pantau terus baliportalnews.com di :

Dapatkan berita terbaru dari Baliportalnews.com di Google News