BALIPORTALNEWS.COM – Hasil penelitian yang dilakukan Kementerian PP dan PA RI, prilaku menyimpang seksual maupun prostitusi bukan lagi faktor ekonomi sebagai penyebab utamanya, namun sudah menjadi gaya hidup. Setelah dilakukan penelitian, ada sebagian pelaku keluarganya mapan secara ekonomi, namun karena kurang kasih sayang dan perhatian keluarga hingga mereka terjerumus.

Begitu juga dengan penyimpangan seksual, ada kecenderungan anak yang mendapat pelecehan seksual saat anak-anak, setelah dewasa mereka cenderung melakukan hal yang sama.Hal tersebut disampaikan Tim KLA Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP dan PA)  RI, Hadi Utomo saat pelatihan Konvensi Hak Anak di ruang rapat RS Kasih Ibu,  di Desa Saba, Blahbatuh, Gianyar, Jumat (23/9/2016).

Dikatakan, dari sejumlah kasus seperti kasus pembunuhan, kejahatan seksual bahkan prostitusi yang terjadi ketika ditangani polisi terungkap fakta yang sangat memilukan. Dari mulut para pelaku keluar sebuah cerita memilukan dimana mereka melakukan hal ini karena terinspirasi dari kejadian yang mereka alami ketika masih kecil. Sangat menyedihkan.

Baca Juga :  Publikasi Liputan Kelistrikan di Bali, Dua Finalis Raih Juara Nasional di PLN Journalist Awards 2023

Pengalaman pahit masa kecil, akan menimbulkan trauma sangat parah. Begitu parahnya trauma yang harus ditanggung oleh seseorang disaat masa kecilnya mengalami kejadian yang tidak menggenakan. Trauma itu membekas hingga mempengaruhi prilaku hingga mereka dewasa. Anak-anak hendaknya dapat dipersiapkan untuk menjalani kehidupan sebagai pribadi dalam masyarakat dan dibesarkan dalam cinta dan kasih sayang. Diberi perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Bahkan PBB telah menetapkan Konvensi Hak Anak, yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 10 tahun 2012 tentang Konvensi Hak Anak.

Baca Juga :  Mobil Listrik Tambah Banyak, PLN Siagakan 1.124 SPKLU Tersebar untuk Para Pemudik

Menurut Hadi Utomo, negara dan masyarakat harus memahami bahwa “violence”atau kekerasan terhadap anak dapat berupa pukulan, bentakan, kekerasan, kata-kata kasar hingga kekerasan seksual. “Kita harus sadar, jika anak terbiasa mendapatkan perlakukan ini sejak kecil, bisa menjadi trauma yang secara tidak sadar akan ada kecenderungan mereka melakukan hal serupa kelak dikemudian hari,”jelas Hadi Utomo."Tidak ada gunanya UU Konvensi Hak Anak disahkan, jika elemen dasar yaitu keluarga sebagai orang terdekat  tidak mampu memahami dan memberi perlindungan pada anak,” ujar Hadi Utomo.

Kepala Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana, Kabupaten Gianyar,  I.A Putu Sri Ambari mengatakan selain mendatangkan nara sumber dari Kemeterian PP dan PA RI, juga dihadirkan Psikolog Drs. Retno Indrayanti, S.Pi dari RS Sanglah Denpasar. Sri Ambari mengatakan, peserta pelatihan kali ini khusus dari kalangan tenaga kesehatan, kepolisian dan kejaksaan. Tujuannya adalah agar mereka memahami bagaimana nantinya mereka bisa menangani korban (anak) jika terjadi tindak kekerasan pada anak.

Baca Juga :  Beredar Hoaks Uang Pecahan Rp 1.0 Baru, Bank Indonesia dan Peruri Bantah

Karena menurut Sri Ambari, memeriksa seorang anak yang tersangkut masalah tidak bisa disamakan dengan saat memeriksa orang dewasa. Harus ada pendekatan psikologisnya. Bila memungkinkan, saat polisi memeriksa agar tidak menggunakan atribut kepolisian, karena kadang bisa membuat anak sangat tertekan dan ketakutan. Begitu pula dengan tenaga medis, semua harus dilakukan dengan pendekatan yang membuat anak itu merasa nyaman. (r/humas pemkab gianyar/bpn) 

Dapatkan berita terbaru dari Baliportalnews.com di Google News