Baliportalnews.com
Baliportalnews.com

BALIPORTALNEWS.COM Dialog budaya Sanur Village Festival secara keseluruhan ingin menjaga kedaulatan budaya yang selama ini membentengi Sanur dalam peradaban waktu. Bertempat di Grya Santrian Gallery Sanur, tiga pembicara masing-masing Jean Couteau, Taufik Rahzen dan Wayan Westa merangkai benang merah bagaimana menjaga kedaulatan budaya Bali, khususnya Sanur.

Jean Couteau mengangkat pentingnya momori kultural sebagai bentuk kesadaran dalam melihat kekinian. Melalui memori kultural menurut Jean dapat dijadikan pengingat betapa penting meletakkan posisi Sanur yang dahulu sebagai pusat peradaban budaya. Segala bentuk  dan arah laju kapitalisme yang ingin masuk dengan rencananya, minimal akan tersaring kalau budayanya sudah berdaulat. Penguatan memori kultural dengan segala bentuknya seperti melihat diri ke dalam, mempertahankan warisan budaya yang ada, serta terus menjaga dan merawatnya.

Taufik Rahzen, membicarakan Sanur sebagai daerah yang memiliki kedalaman makna kultural dari persaudaraan dan pencerahan. Taufik memberikan ingatan empat hal yang harus menjadi bahan kajian melihat Sanur sebagai kedaulatan budaya yaitu Prasasti Belanjong, Kedatangan Chen Ho, Puputan Badung, dan Sanur sebagai sumber pencerahan tingkat global. Sanur sangatlah tepat untuk dikembangkan sebagai tempat maupun model bagi wisata sadar, tambah Taufik. Sementara Wayan Westa, lebih menarik ke belakang bagaimana ingatan kebudayaan peradaban air dari Tukad Ayung sampai Pantai Sanur sebagai basis kekuatan kedaulatan budaya. Dari pusat pertapaan sampai tempat spiritual bisa dijadikan basis kuat sebagai kedaulatan budaya, tambah Westa.

Tanggapan menarik dari budayawan Putu Suasta yang mempertanyakan sekaligus mempertegas perubahan arus deras pariwisata akibat perubahan peradaban air ke peradaban jalan yang berpusat di airport. Hal senanda juga ditanggapi Ida Bagus Sutama, seniman sekaligus akedemisi dari Sanur ini menginginkan kedaulatan budaya dengan mengedepankan Tri Hita Karana harus dilakukan sebagai payung di atas kerangka hukum atau harga mati.

Baca Juga :  Pastikan Keamanan Wilayah, Kelurahan Peguyangan Gelar Pendataan Duktang dan Sambangi Rumah Penduduk yang Mudik

Sastrawan Wayan Jengki justru menanggapi perubahan peradaban budaya dari Sungai Ayung sebagai tempat pertapaan menjadi tempat pertapaan para investor dalam menempatkan bisnis pariwisatanya. Sungai Ayung sudah berubah oleh hotel, vila, maupun restaurant, bersolek melunturkan identitas spiritualitas yang melekat di dalamnya. Sementara sebagian audience yang lain menyoroti bagaimana konkritnya menjaga Sanur dalam kekinian, melihat sejarah peradaban dan perjalanannya memang sangat penting bagi kedaulatan budaya Bali.

Ada hal yang cukup menarik ketika pembicara Taufik Rahzen melontarkan gagasan adanya Kongres Pariwisata untuk dilaksanakan di Sanur. Taufik yang senada dengan Menteri Pariwisata Arief Yahya ketika memberikan pujiannya di pembukaan SVF (24/8/2016) bahwa Sanur adalah model pariwisata terbaik berbasis komunitas terbaik di Indonesia, setidaknya harus membagi kepada daerah lain di Indonesia. Segala pandangan dan kebijakan pemerintah tentunya harus dikaji agar pariwisata di Indonesia yang selama ini yang mengandalkan potensi budaya, sekaligus dapat menjadi benteng kedaulatan budaya, bukan justru mengeksploitasi budaya.

Baca Juga :  Gede Ngurah Ambara Putra Resmi Menjadi Anggota DPD RI, De Gadjah : Sinergi Parpol dan DPD Kunci Membangun Bali

Ida Bagus Sidartha, Ketua Umum Sanur Village Festival yang membuka dialog budaya mengatakan Dialog Budaya adalah bagian penting dari program SVF. Melalui dialog budaya  tahun ini tema Tat Twam Asi dalam implementasinya melihat kedaulatan budaya menimbang Sanur dalam prespektif waktu akan menjadi sumbangsih bagi peradaban baru berjalanya pembangunan di Sanur dengan tetap menjaga warisan luhur budaya Hindu Bali. (r/bpn)

Dapatkan berita terbaru dari Baliportalnews.com di Google News